December 31, 2011

Saya Juga Setengah Salmon

Perkenalan pertama saya dengan novel Raditya Dika adalah ketika Andini a.k.a Asur, sepupu Intan dari Jakarta, meminjamkan novel Radikus Makankakus. Saat itu saya baru semester 3, dan novel komedi bukanlah favorit saya. Namun, saya jatuh cinta pada tulisan-tulisan Dika di novel itu. Lalu mulailah saya bergerilya dari Kambing Jantan hingga novel terbarunya, Manusia Setengah Salmon. Dan ketika orang banyak menyimpulkan Dika adalah penulis yang lucu dan gokil, saya melihatnya sebagai orang yang konyol tapi pintar. Masih saya ingat bagaimana tulisan "Di Balik Jendela" dalam novel Cinta Brontosaurus sukses membuat saya menangis bombay. Padahal ada beberapa bagian dimana dia harus duduk bersebelahan dengan si bule ikan asin, tapi Dika membuat saya ikut merasakan apa yang dia rasa di balik jendela bus malam itu.

Kalau Dika bilang ada yang beda pada novel terbarunya, Manusia Setengah Salmon, saya akan bilang "saya sudah merasakan perbedaan itu di novel Marmut Merah Jambu, bang!". Cerita cinta versi Dika itu mudah simpel, mudah dicerna tanpa konflik yang rumit, serumit sinetron di tv dari anak yang tertukar berlanjut sampai cucu-cucunya ikutan tertukar. Dika menulisnya tetap dengan gaya komedi, tapi ada sebuah pemikiran yang matang yang ada didalam cerita itu sendiri. Pemikiran yang apa adanya namun benar adanya.

Bagi saya, MMJ adalah bentuk setengah matang dari proses perpindahan yang dimaksud Dika, MSS adalah bentuk perpindahan itu sendiri. Tulisan 'ledakan paling merdu' dan 'kasih ibu sepanjang belanda' agak menyentil saya. Jujur, akhir-akhir ini saya ingin bisa mandiri, terlepas dari tanggung jawab orang tua, bisa bebas pergi dan melakukan yang saya mau. Selalu ada rasa tidak ingin dicari-cari oleh mama dimana saya berada dan mulai memiliki rasa ketidaksabaran terhadap orang tua. Dan tulisan Dika membuat saya bercermin betapa suram hidup ini tanpa mereka disisi kita. Untuk itu saya berterima kasih.

Dua bulan yang lalu, saya mengalami perpindahan hati. Dan, ketika sesuatu sudah mulai sempit dan tidak nyaman, saat itulah seseorang harus pindah ke tempat yang lebih luas dan (dirasa) cocok untuk dirinya (Sepotong Hati di Dalam Kardus Coklat - hal. 29). Dalam hal ini, saya yang meminta dia untuk pindah. Saya bukanlah rumah yang tepat untuknya, bukanlah rumah tempat dia pulang (Mencari Rumah Sempurna - hal. 245). 

Perpindahan adalah suatu proses yang pasti terjadi di dalam hidup manusia. ketika selesai membaca novel ini, saya sadar kalau saya telah menjadi manusia setengah salmon, karena sudah memiliki keberanian untuk melakukan perpindahan, berani memilih hati baru untuk saya tempati, berani untuk melakukan pencapaian lebih. Sekali lagi terima kasih karena membuka pikiran saya tentang perpindahan hidup yang tidak saya sadari jika saya memiliki keberanian itu. *hugs*